Senin, 19 Oktober 2015

Selamat Jalan

Kita punya suara, suara kecil didalam sana. Yang bahkan kita sendiri tidak dapat mendengarnya.
Suara itu merintih begitu lembut.
Hanya berbisik namun mengirimkan impuls.
Yang dapat menggerakkan kaki, tangan, fikiran, hati, dan... air mata.

Kita tau apa yang telah terjadi adalah sebuah symphoni.
Sebuah nada yang kelak akan kita perdengarkan kembali.
Tapi tidak berdua.
Karena kita akan mendengarkannya bersama takdir yang telah ditetapkan untuk kita.

Kini, aku harus menjalani hari dengan takdir yang telah dituliskan untukku.
Meski tidak bersamamu, tak apa.
Aku bahagia.
Karena 'dia'ku kini adalah seseorang yang lebih dari istimewa.

Untuk apa yang telah terjadi,
Terimakasih.
Terimakasih telah bersedia mengisi lembar laporan hidupku.
Terimakasih telah bersedia dicintai dalam diam.
Terimakasih telah memberikan kesan terbaik di akhir perjumpaan 'berdua'.

Selamat jalan.
Selamat melanjutkan mimpi.
Selamat melanjutkan hari.
Kita mungkin tak akan lagi dipertemukan dalam hati
Tapi aku yakin, kita masih selalu dapat saling mendo'a

Sehat sehat dan sukses selalu mas, terimakasih x)

Sabtu, 11 April 2015

Ijazah Tak Berguna

Punya ijazah TK? (TK ada ijazahnya ga sih? Haha) ijazah SD? SMP? SMA? S1? S2?
Sejauh ini, ijazah-ijazah itu untuk apa? Mendaftar ke jenjang yang lebih tinggi? Ok, iya. Lalu? Mendaftar kerja? Emmm ok. Syarat ngurus surat ini itu? Yap, bisa juga. Lalu? Apalagi? Sudah?

Yaa... memang ijazah yang kita punya bisa digunakan untuk banyak hal. Sangat banyak! Tapi kok saya belum merasakan manfaat ijazah yang saya kumpulkan dan saya jaga rapi itu ya?
Seingat saya, saya tidak punya ijazah TK. Emmm mungkin hilang. Ijazah SD ada, saya gunakan untuk mendaftar SMP. Ijazah SMP pun seperti itu. Ijazah SMA, sempat saya gunakan untuk mendaftar perguruan tinggi dan dapat diskon biaya kuliah tapi saya keluar dari perguruan tinggi itu (ini manfaat ijazah terbesar selama hidup saya, haha) dan terakhir saya gunakan sebagai syarat pembuatan ijazah sarjana.
Sebelumnya saya sempat complain pada beberapa teman saya, karena saya merasa ijazah SMA saya tidak berguna. Praktis, karena sejak saya masuk perguruan tinggi hingga menjelang ujian akhir skripsi pihak kampus tidak pernah sekalipun menanyakan ijazah saya. Hnaaah, setelah mau mendaftar wisuda itu kemudian saya kebingungan mencari legalisir ijazah (sewaktu lulus SMA, sekolah meberikan sekitar 10lembar copy legalisir. Kemudian saya cecerkan begitu saja). Syukur alhamdulillah saya menemukan legalisir ijazah pas 2 lembar sesuai dengan yang diminta pihak akademik kampus. Saya fikir ijazah legalisir itu digu akan untuk mengecek kebenaran nilai atau kelulusan atau apapun lah yang sedikit keren. Ternyata hanya untuk melihat nama. Iya, nama. Agar nama di ijazah S1 sesuai dengan ijazah SMA. Udah, gitu doang. Fix! saya merasa ijazah itu hanya selembar kertas yang kadang-kadang dirasa penting.

Kekekeke saya becanda di kalimat terakhir saya tadi. Jadi begini, setelah difikirkan dengan pikiran yang (agak jernih) dan hati lapang saya menyadari bahwa sesungguhnya ijazah memang tidak terlalu penting (tetep aja, hahahaha). Ijazah hanya sebagai bukti nyata saja. Sama seperti sertifikat atau piagam penghargaan yang teman-teman kumpulkan selama ini, yang berharga sebenarnya adalah waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan ijazah itu. Waktu yang digunakan apakah benar-benar optimal atau hanya alakadarnya. Nilai yang tertera pada ijazah tersebut benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan diamalkan atau hanya sekedar gengsi kelulusan semata.

Mari kita bicara mengenai waktu. Kita flashback masa sekolah kita. Di sekolah dasar (SD), 6 tahun loh kita disana. Dapat apa? Ijazah saja? Tentu tidak. Pasti kita punya berbagai ilmu yang kita dapat dari masa SD, tidak hanya mengetahui 'ini ibu Budi' atau '4×4=16'. Pasti lebih dari itu.
Selama 6 tahun saya ada di SD yang sama. SD yang tidak favorit, yang tidak mewah, dan tidak punya banyak murid. Tapi disana saya belajar bagaimana kompetisi dimulai. Bagaimana rasanya jadi selalu juara pertama dan rasanya punya nilai matematika dua puluh tiga (skala 100). Bagaimana tidak merengek-rengek minta sepeda ketika ada beberapa teman yang sepatu saja tidak punya. Bagaimana menikmati seru nya menimba ketika sekolah lain sudah punya banyak kran air untuk sekedar cuci muka.
Saya bersyukur diizinkan sekolah di SD itu. Paling tidak saya belajar kesederhanaan sejak dini. Belajar arti menghargai. Yaaah walaupun dulu pernah sok nge Bos gitu di sekolah, sok preman gitu. Tapi sekarang sudah sadar kok, sudah lembut kan saya nya? Hahaha.

Masa SMP. Saya belajar bagaimana berteman dengan baik, tidak mreman (bertingkah seperti preman) haha, berorganisasi, dan menyadari bahwa hidup tidak selalu menjadi rangking 1. Saya sekolah di SMP yang cukup favorit di daerah saya. Dulu hampir tidak lolos masuk ujian seleksi berkas, karena saya dianggap dari SD antah berantah. Namun, Allah berkehendak lain. Preman bongsor (jaman SD saya tinggi loh, serius) dari SD antah berantah ini bisa masuk SMP favorit dengan nilai pas (banget, kekeke).
Masuk SMP favorit rasanya... beda, sangat beda. Teman-teman saya bersepatu semua. Semua nya rapi, pintar, dan untuk cuci muka sudah ada kran. Kami tidak perlu menimba *berbinarbinar*
Disini saya belajar menghargai, belajar bersosialisasi, belajar berorasi. Alhamdulillah, pelajaran itu lebih melekat dikepala saya dibandingkan nilai yang tercatat pada kertas ijazah saya. Bahkan, saya memiliki sahabat sejak SMP yang cinta nya masih terasa sampai kini. Sahabat-sahabat terbaik. Keluarga kedua yang sangat hebat :)

Selepas SMP, saya tidak terfikir dimana saya akan melanjutkan SMA. Sampai akhirnya, takdir memperkenalkan saya pada SMA IT Ittihadul Muwahiddin (yang sekarang jadi SMA BIAS Jogja). Pertamakalinya saya masuk asrama, pertamakalinya jauh dari orangtua, pertamakalinya harus mengatur uang saku dalam satu bulan (ini kisah sedih, sumpah T.T ) kekekeke.
Tapi, disini saya belajar banyak. Belajar tentang memahami sifat masing-masing orang, belajar tentang berbuat dan berkata baik pada orang lain, belajar menghargai usaha oranglain, belajar berterimakasih, belajar tauhid dan bahasa arab (yang sampai sekarang belum saya lanjutkan, aaaa sebenarnya masih ingin. Biar kalau baca Al Qur'an bisa tau artinya tanpa membaca terjemahan), belajar menerima bahwa setiap siswa memiliki kelebihan masing-masing. Jadi disini pertama kalinya raport saya tidak ada peringkatnya. Eh tapi saya juga belajar memahami potensi saya sih disini, hoho :p

Kuliah. Okey, kuliah. Buat apa kuliah kalau ujung-ujungnya untuk cari kerja juga? Buat apa kuliah kalau gaji nya sama bahkan lebih tinggi dari tamatan SMK/SMA? Buat apa kuliah kalo tidak sesuai dengan minat nya?
Ok, let me tell you. Jadi kuliah itu tidak semata mata mencari gelar, profesi, atau mendapatkan IJAZAH untuk gaji/pangkat yang lebih tinggi.
Sadar atau tidak, selain (merasa) di plonco senior dan dosen. Kuliah juga menata alur pemikiran kita. Jika di SMA pemikiran kita masih bercabang-cabang di kuliah inilah kita merapikan cabang-cabang tersebut. Mungkin lebih bijak dalam mengkritisi sesuatu, lebih kritis dalam menilai sesuatu, lebih rasional dalam mempertimbangkan sesuatu, dan lebih terarah pemikirannya.
(Ini perkataan dosen pembimbing yang masih sangat melekat *selain marahmarahnya* kekekeke):
"yang membedakan S1 dengan sekolah menengah atas itu ada pada pemikirannya. Makanya di S1 ada skripsi. Skripsi itu mengajarkan kita untuk memiliki pemikiran yang terarah, tajam mengupas masalah dan menyelesaikannya"
"Berarti kuliah-kuliah kemarin tidak ada gunanya ya pak? Kalau yang terpenting dari S1 itu skripsi?"
"Haha tidak, untuk bisa mengupas masalah dalam skripsi kan kamu butuh ilmu. Ilmu itu tidak semerta-merta datang satu dua jam. Butuh pemahaman dan pendalaman, tidak ada yang sia-sia dalam kuliah kamu"

The point of this conversation are: bukan sebagus apa nilai kuliah kamu untuk menuju skripsi dan menyelesaikannya, tapi bagaimana kamu memahami setiap tahapan ilmu yang kamu peroleh untuk mengaplikasikannya dalam skripsi. (Kekekeke ini pembelaan mahasiswi yang IPk nya pas-pasan).
Jadi, tetap bukan nilai yang tercatat dalam ijazahmu itu apa. Tapi seberapa banyak ilmu yang kamu serap dan kamu pahami selama meraih ijazah tersebut.

Wah kalau ga sekolah lagi atau ga digunakan untuk melamar kerja sayang dong? Yaaa... kalau itu kembali lagi ke masing-masing. Menurut saya mah, ilmu apapun itu tidak pernah merugikan (selama ilmu nya baik loh maksud saya). Misalnya kok nanti tidak bekerja atau jadi ibu rumahtangga, kan ilmu-ilmu itu tetap bisa digunakan dalam bermasyarakat, mengajari anaknya (mungkin), atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, jangan merasa rugi karena menghabiskan waktu untuk belajar. Selagi memang belajar kebaikan dan sungguh-sungguh mendalami ilmu tersebut, insyaAllah ada manfaatnya kok ;)

Sabtu, 16 Agustus 2014

Dear Lelakiku :)

Dear lelakiku....
Bagaimana hari mu? Menyenangkan kah? Semoga selalu bahagia yaa :)

Aku disini masih berkutat dengan skripsi. Melawan segala kejenuhan dan rasa enggan untuk menyelesaikannya. Tapi percayalah, aku akan menyelesaikannya :)

Aku disini masih sendiri dan menjaga hati. Tanpa sadar, aku telah menyakiti banyak hati dan tersakiti. Mencintai yang tidak seharusnya dan melenggang berpaling dari orang orang yang sangat memperhatikanku.

Banyak rasa bersalahku. Aku takut, kamu adalah orang yang belakangan mencintaiku dan aku mengacuhkanmu. Aku lebih takut, jika kamu adalah orang yang saat ini aku cintai dan berusaha dengan keras aku lupakan. Ataukah kamu adalah orang yang pernah ku cintai dan sangat baik hati itu?
Lelakiku, tenang saja. Aku masih sabar menantimu.

Lelakiku, apa yang kau inginkan dari ku kelak?
Apakah kau ingin aku mendedikasikan waktu ku untuk mu, kediamanmu, merawat segala yang kau kerja keraskan.
Atau kau ingin aku mendampingimu kemanapun kau pergi? Menjadi manager sekaligus asisten dalam pekerjaanmu.
Ataukah kau mengizinkanku bekerja diluar rumah. Bekerja keras sama sepertimu untuk membangun impian kita?
Lelakiku, akan ku patuhi sekuat ku apa yang kamu mau. Insyaallah :)

Lelakiku, apapun pekerjaanmu nanti. Berdasi, bertopi, atau berpeci. Kamu tetap sholeh ya :)
Aku sedang belajar merapikan dasi, agar kelak aku bisa mengenakannya padamu. Merapikan jas mu, dan menyiapkan sepatu kesayanganmu.
Aku sedang belajar mandiri dan tak mengeluh. Agar kelak ketika kau pergi mengerjakan proyekmu, aku dapat melakukan segala sesuatu tanpa manja. Aku akan dengan sigap menyeka keringatmu, menyiapkan segala keperluanmu hingga peralatan kerja mu.
Aku sedang belajar anggun dan penyayang. Sehingga kelak, jika kau adalah pemuka agama aku bisa mengatur sikapku. Menjadi pendamping terbaikmu.
Namun, jika kau adalah seorang wirausaha. Ijinkan aku bekerja bersamamu. Membantu apapun yang kau perlu. Melakukan apapun yang kau butuhkan.

Lelakiku, aku jauuh dari sempurna. Mungkin saja jauh dari sosok yang kau bayangkan.
Maka, tuntun aku untuk menjadi yang terbaik untukmu. Tuntun aku untuk menjadi yang terbaik untuk Allah. Im yours man :)

Lelakiku, mungkin kau juga jauuh dari sempurna. Jauh dari apa yang aku inginkan. Tapi lelakiku, ingatkan aku bahwa mencintaimu bukanlah nafsu.
Mencintaimu adalah ibadahku pada Allah. Mencintaimu adalah, takdirku. Takdir terbaikku :)

Lelakiku, sampai jumpa.
Sampai jumpa jika waktu nya tiba.
Aku akan terus memperbaiki diriku, kuharap kau pun begitu.
Jadi, bersabarlah. Sehingga kelak kita akan dipertemukan pada masa yang istimewa, ketika kita sudah menjadi lebih baik satu sama lain, ketika kita telah merasa sama-sama siap untuk memiliki.

Lelakiku,
Aku menjaga hati ku. Dan aku masih bersabar ♥♥

Ps:
     Doakan aku segera menyelesaikan S1 ku dan mewujudkan impianku ya...
Aku doakan yang sama. Kemudian saat kita bertemu kita dapat saling bercerita :)